Trah Agawe Bubrah, Rukun Agawe Santoso, Sultan Ora Kersa Ngowah Owahi Pakem!


(Berpecah Belah Membuat Runtuh, Bersatu Rukun Membuat Utuh, Sultan Tak Bisa Mengubah Tradisi)

Tribun News - Saya kembali menulis, untuk mengingatkan Sultan atas pakem memimpin rakyat yang mengutamakan kerukunan, menghindari perpecahan, menjunjung tinggi tradisi, agar keraton tetap lestari. Tradisi kesultanan Jogja adalah tradisi kerajaan Islam. Sultan, tak dapat lepas dari tradisi Islam meski telah melepas gelar Khalifatullah dan mlungsungi (mengubah diri) dari Buwono menjadi Bawono.

Tradisi dan pakem Kesultanan Jogjakarta adalah tradisi Islam, menjunjung nilai Islam, mengagungkan kebesaran Islam, dan berkhidmat kepada Islam. Tradisi dan pakem kesultanan itu mengagungkan persatuan, mituwo dan ngawulo kepada rakyat.

Karena itu, bukan tradisi Islam seorang pemimpin yang menolak syiar Islam, menelantarkan urusan agama Islam, serta membutakan diri dari realitas dan tuntutan rakyat yang menghendaki keagungan syiar Islam. Bukan pula tradisi Islam, melepas ketaatan pada syariat, padahal eksistensi dan pengakuan kesultanan Yogyakarta tak lepas dari pemimpin besar umat Islam yang ada di Turki Utsmani, ketika itu (Khilafah Turki Utsmani).

Hari ini, ada potensi trah. Jika dahulu, potensi trah itu hanya di internal keluarga Keraton, antara Sultan dan adik-adik Sultan, terkait masa depan kepemimpinan kesultanan Yogyakarta.

Trah yang dipicu antara mempertahankan tradisi kekuasaan berdasarkan jalur Nasab (anak laki-laki atau keluarga jalur laki-laki, jalur Aqilah), atau menggeser pada jalur darah berdasarkan hubungan bapak - anak, yang mengesampingkan unsur jenis kelamin yang wajib laki-laki.

Potensi trah hari ini, adalah karena ada persepsi yang berbeda, pikiran yang berbeda, perasaan yang berbeda, antara Sultan dengan rakyat jogja. Pikiran yang lebih mengikuti narasi radikalisme rezim, yang melawan pikiran dan kerinduan rakyat jogja yang mayoritas Islam pada nilai dan syiar Islam. Fenomena ini telah lama dirasakan, namun gejalanya tampak saat pelaksanaan agenda Muslim United, yang sedianya dilaksanakan di Masjid Gede terpaksa pindah ke Masjid Jogokariyan, hanya karena tudingan dan narasi radikalisme.

Bisa saja, keadaan ini akan memicu trah lama, trah perebutan tahta raja pasca mangkatnya Sultan kelak, antara bertahan pada jalur keluarga Sultan dan menitis ke puterinya, atau harus taat pakem dan bergulir, bergeser kepada adik sultan yang paling tua jika belum meninggal, atau adik tertua lainnya, atau kesepakatan antara adik-adik laki-laki sultan, karena merekalah yang paling memiliki hak atas tahta kerajaan jogja ketimbang Puteri-Puteri Sultan.

Jika ditinjau dari aspek tradisi (Syar'i) dan hubungan kedekatan sultan dengan umat, maka saat ini sultan kehilangan 2 (dua) legitimasi.

Pertama, Sultan kehilangan legitimasi tradisi, legitimasi Syar'i. Tradisi kesultanan jogja adalah tradisi Islam, bukan tradisi Kristen atau katholik.

Secara tradisi, tindakan sultan melepas gelar 'khalifatullah' dan melepas diri dari gelar 'Buwono' menjadi 'Bawono' telah menyalahi tradisi. Meski publik juga sadar, Sabda Sultan ini adalah prakondisi untuk memberikan legitimasi tradisi (yang di owah-owahi) untuk menitiskan tahta kekuasaan Sultan kepada puterinya.

Tradisi kekuasaan Keraton jogja itu menitis pada laki-laki. Sebagaimana Islam mengatur, salah satu syarat akad untuk menjadi pemimpin itu adalah laki-laki.

Jika Sultan kelak memaksakan pelimpahan atau pewarisan kekuasaan, pasca meninggalnya baik dengan surat wasiat berupa 'Sabda Sultan' atau sempat mengeluarkan 'Sabda Pandita Ratu' sebelum mangkatnya, maka Sultan sudah melepas tradisi, Sultan tidak lagi berkiblat kepada kekhilafahan Islam di Turki Utsmani, tetapi Sultan telah membebek kepada kerajaan Inggris. Padahal, kerajaan Inggris yang dipimpin seorang Ratu adalah kerajaan Kristen.

Kedua, Sultan kehilangan legitimasi publik, yakni dukungan dari rakyatnya, dukungan dari umat Islam yang merupakan mayoritas rakyat jogja, karena sultan telah memiliki persepsi, pikiran dan perasaan yang menyelisihi persepsi, pikiran dan perasaan yang menyelimuti suasana kebathinan rakyat jogja.

Sultan tak lagi memperhatikan rasa yang menyelimuti bathin umat, kekecewaan umat atas tidak dikeluarkannya izin untuk mengadakan syiar Islam di masjid Gede Kauman Jogja. Dengan dalih sebagai 'pemilik masjid' pihak keraton merasa tak perlu menjelaskan alasan tidak keluarnya izin. Padahal, untuk aktivitas maksiat, alun-alun jogja dibiarkan digunakan untuk syiar kemaksiatan, syiar dangdutan.

Dua kondisi ini, akan menyebabkan garis Nasab yang dimiliki oleh Gusti Bendara Pangeran Harya Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryo Mataram, GBPH Hadinegoro, dan GBPH Suryonegoro, jauh lebih berhak atas tahta Raja jogja ketimbang Puteri sultan.

Apalagi Secara Syar'i, Islam tidak mengenal Garwo Padmi atau Garwo Selir. Tidak mengenal istilah permaisuri atau selir. Dalam pandangan Islam, semua istri memiliki kedudukan yang sama, karena itu semua anak laki-laki dari istri manapun berhak atas Nasab dari sang ayah, tanpa terkecuali.

Legitimasi secara tradisi telah dikantongi oleh Gusti Bendara Pangeran Harya Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryo Mataram, GBPH Hadinegoro, dan GBPH Suryonegoro. Sementara, legitimasi rakyat itu sangat tergantung pada kebijakan Sultan. Jika Sultan adil, rakyat pasti mentaati. Jika Sultan zalim, maka rakyat pun akan enggan memberikan legitimasi.

Saya kira, potensi trah ini agar tak menjadi bubrah penting untuk disikapi Sultan. Seorang raja, tak boleh berdalih kuasa berlaku semena-mena kepada rakyatnya. Sultan tak bisa mengubah tradisi, tapi sultan masih punya waktu untuk mengupayakan dukungan dan legitimasi. [Tribun News/@NasjoReborn].

Comments