Tribun News - Demokrasi itu sistem rusak, merusak, dan mengumpulkan orang-orang yang rusak. Demokrasi itu sistem munafik, antara teori dan praktiknya tidak sejalan. Demokrasi menawarkan ide kedaulatan rakyat, dimana 'mitos' kedaulatan rakyat ini yang disembah oleh para pengagum demokrasi.
Faktanya ? Yang berdaulat itu kapital. Baik sejak masa pilihan, coblos-coblosan, sampai mengelola pemerintahan.
Mari kita ulas,
Saat pilihan, demokrasi mengklaim kedaulatan rakyat yang akan memilih calon pemimpin sesuai kehendak rakyat. Demokrasi menyampaikan sihir, bahwa pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik menurut rakyat.
Faktanya ? Pemimpin yang ada, baik eksekutif maupun legislatif, baik calon kepala daerah, calon Presiden maupun calon anggota DPR, semuanya bukan pilihan rakyat. Mereka adalah orang yang lolos seleksi partai, pilihan partai, kemudian ditampilkan dalam etalase politik Pilkada, Pilpres atau pemilu.
Sejatinya partai-lah yang memiliki kedaulatan penuh terhadap calon pemimpin. Sementara, rakyat dipaksa untuk memilih pilihan yang sudah disediakan partai.
Calon pemimpin juga tidak lolos seleksi partai karena kemampuan politik, kapasitas dan kapabilitas. Kekuatan modal-lah, yang membuat seseorang bisa mendapat rekomendasi partai untuk menjadi calon pemimpin, baik modal sendiri atau dibiayai para bandar.
Jika modal sendiri, kelak pemimpin ini akan mencari untung dari kekuasaan yang diperoleh untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk partai, untuk pemilihan, dan sekaligus mencari margin untung besar untuk dirinya. Jika dia dibiayai bandar, kaum pemodal kapitalis, maka setelah menjadi penguasa kelak dia harus menyerahkan sejumlah konsesi bisnis kepada pemodal yang membiayainya.
Konsesi yang diberikan kepada pemodal itu bisa berupa proyek negara atau Pemda, penguasaan tambang, hutan, lahan, izin bisnis, layanan bisnis, bahkan yang paling sederhana menyerahkan 'proyek ngecor jalan' kepada Bohir yang dahulu mendanai suksesi politiknya. Jadi, disini yang berdaulat adalah uang/modal bukan rakyat.
Saat pemilihan, aktor politik juga tidak menjual ide. Tapi menjual modal dengan sejumlah aktivitas. Beri sembako, rokok, amplop, untuk meraih 'biting suara' itu menjadi rumus wajib jika ingin menang pemilu.
Kalau hanya berbusa janji janji, berorasi tentang visi misi, rakyat tidak ngerti dan tidak butuh. Rakyat lebih memahami bahasa amplop, bahasa rokok, beras, minyak, atau sejumlah sembako lainnya, ketimbang ujaran janji politik yang sudah jelas pasti diingkari. Jadi, ditahap ini yang berdaulat juga lagi-lagi uang/modal.
Setelah menjadi penguasa, para politikus ini juga tidak mewakili rakyat. Tidak ada kedaulatan rakyat, yang ada kedaulatan kapital. Semua produksi UU dan kebijakan kekuasaan itu atas pertimbangan kapital, bukan pertimbangan rakyat. Rakyat hanya jadi 'Address' saja.
Saat mayoritas rakyat menolak hutang, menolak BBM naik, menolak TDL naik, menolak freeport, menolak penguasaan tambang oleh asing dan aseng, menolak intervensi China, faktanya wakil rakyat bungkam. Mereka justru menjalankan KEDAULATAN KAPITAL BUKAN MENJALANKAN KEDAULATAN RAKYAT.
Karena sistem DEMOKRASI ADALAH SISTEM MUNAFIK, MENYEMBUNYIKAN HAKEKAT KEDAULATAN KAPITAL DIBALIK TOPENG KEDAULATAN RAKYAT, Maka semua politisi demokrasi juga menjadi munafik. Ciri ciri politisi munafik itu TUKANG BOHONG, TUKANG INGKAR, TUKANG KHIANAT.
Menjadi munafik dalam sistem demokrasi itu bukan cela, bukan aib, hanya konsekuensi saja. Semua politisi dipaksa menjadi munafik. Sebab, jika tidak munafik mereka tidak akan menjadi pemimpin.
Pemimpin yang taat, mencintai rakyat, terikat dengan Alllah SWT, berfikir untuk menyejahterakan rakyat, jujur, ananah, dan berkomitmen untuk umat, tidak mungkin bisa tumbuh dan hidup dalam sistem demokrasi.
Pemilu dan Pilpres ini, kita saksikan banyak politisi munafik, bohong sana sini, tebar janji sana sini, khianat sana sini, itu jamak kita temui. Karenanya, menjauhlah dari sistem demokrasi karena demokrasi bukan Sunnah Nabi. Demokrasi adalah Sunahnya Montesquieu. Padahal, kita diminta ittiba' kepada Nabi, yang telah mewariskan sistem khilafah kepada para sahabat sesudahnya. Bukan ittiba' kepada montesquieu dengan warisan demokrasinya. [].
Comments
Post a Comment