Tribun News - Konstitusi tegas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Konstitusi tidak membatasi jenis dan bentuk kegiatan untuk mengaktualisasikan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.
Dengan demikian, segala hal dan yang berkaitan dengan ikhtiar untuk menjalankan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, termasuk tetapi tidak terbatas melalui sarana : Unjuk Rasa Damai, Seminar, Diskusi, Dialog, Pawai, Forum ilmiah, Tablik Akbar, Mimbar Bebas, ijtima' ulama hingga berujung people power, jelas sah dan legal menurut konstitusi sepanjang dilakukan dengan cara-cara dialog pemikiran, tanpa fisik, tanpa pemaksaan dan tanpa kekerasan.
Aneh, jika Moeldoko dan TKN Jokowi mencurigai rencana ijtima' ulama III, dengan dalih apapun, kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk menyuarakan pendapat tidak boleh dihalang halangi. Ijtima' ulama II dan I sukses digelar, juga tanpa menimbulkan komplain publik.
Aneh juga, jika mempersoalkan agenda ulama yang mendiskusikan masalah politik keumatan, politik kebangsaan. Ulama bukan hanya ngurusi agama, tetapi ulama juga memikirkan nasib dan masa depan bangsa.
Kubu TKN sendiri, mengusung sosok ulama, yang seharusnya jika konsisten tak pantas sosok ulama menjadi cawapres. Nampaknya, untuk peran dan fungsi ulama, TKN Jokowi tak punya standar baku. Satu sisi menyayangkan peran ulama yang memikirkan politik keumatan, sisi yang lain mengeksploitasi ulama untuk mengkondisikan suara dan elektabilitas.
Agenda ijtima' ulama III juga bebas ditentukan, tanpa harus mengikuti TOR dan guiden penguasa. Ulama, justru memiliki peran sentral untuk mengontrol jalannya kekuasaan.
Jika fokus bahasan ijtima' ulama III adalah melakukan evaluasi terhadap bobroknya proses pemilu, massifnya kecurangan, terstrukturnya berbagai pelanggaran, sistematisnya proses pengulangan dan sebaran kecurangan, juga hal yang lumrah dan wajar. Yang aneh, jika ulama diam padahal kemungkaran dan kezaliman ada diujung hidungnya.
Publik juga patut curiga, karena hingga saat ini tak ada satupun statement Jokowi yang prihatin atau minimal menyayangkan terjadinya kecurangan dalam pemilu kali ini. Jokowi, seolah mendiamkan dan merasa diuntungkan dengan situasi ini.
Karenanya, wajar jika ulama membahas dan mengevaluasi realitas kecurangan ini dalam timbangan politik agama Islam dan solusi untuk mengatasinya. Solusi dan pilihan penyelesaian masalah, tentu sangat bergantung pada ijtihad para ulama yang nanti hadir dalam forum ijtima'.
Rekomendasi itu, tak terbatas, hingga jika ulama menetapkan ikhtiar melakukan gerakan massa, gerakan people power yang mengajukan protes atas kezaliman dan kecurangan yang terjadi. Kondisi ini tidak bisa dihindari, karena dalam ajaran Islam kezaliman itu harus dilawan, baik dengan tangan, lisan atau minimal dengan hati.
Ulama yang berkumpul dalam forum ijtima' tentu bukan ulama yang lemah iman, sehingga diam atas kemungkaran, apalagi hanya mengumpat didalam hati. Mereka, bukanlah ulama kaleng-kaleng yang merapat ke rezim hanya karena takut ancaman dunia.
Dalam forum tersebut, ulama akan berijtima' untuk menentukan agenda akbar keumatan untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Dalam konteks inilah, rasanya semua pihak wajib menghormati ikhtiar ulama yang ingin menyelamatkan bangsa ini. [].
Comments
Post a Comment