Tribun News - Sejak zaman doeloe kala, penggunaan kekuatan untuk memenangkan pertarungan itu ultimum remidium, senjata pamungkas. Semua, pasti diawali dengan diskusi, lobi-lobi, berkompromi, bersepakat, baru penggunaan kekuatan.
Fase penguasaan suatu wilayah oleh imperium tertentu, pasti dimulai dengan memberi opsi untuk tunduk atau diperangi. Memang, ada sejumlah imperium kasar seperti imperium Mongol, yang menyerang jantung kekuasaan Islam Khilafah di Irak, tanpa opsi, tanpa lobi-lobi, tanpa kompromi, tanpa kesepakatan. Langsung serang.
Namun, semua imperium, termasuk penjajahan, itu diawali dengan diskusi, pemberian opsi, lobi-lobi, berkompromi, ikat kesepakatan. Jika gagal, baru serang.
Belanda dahulu, mengawali penjajahan juga menggunakan opsi, lobi-lobi, berkompromi, ikat kesepakatan. Tidak langsung serang menggunakan kekuatan fisik dan militer.
Daerah atau wilayah yang tak bisa ditundukkan dengan diskusi, opsi, lobi-lobi, tdk mau berkompromi, tak bisa diikat dengan kesepakatan, dianggap pembangkangan, ekstrimis, barulah diperangi. Pangeran Diponegoro, adalah tokoh sentral di Jawa tengah yang tak bisa ditundukkan oleh diskusi, opsi, lobi-lobi, berkompromi, atau diikat kesepakatan. Belanda menggunakan pendekatan perang, itupun tetap kalah.
Hingga ada pengkhianat yang menarik pangeran Diponegoro ke meja perundingan, barulah Belanda bisa menundukan. Dengan kelicikan, Belanda mengutus antek pribumi untuk menarik pangeran Diponegoro ke meja perundingan, menangkap dan mengasingkannya. Konon, Nasab pengkhianat yang menjebak pangeran Diponegoro ini tinggal di daerah Potrobangsan, Magelang.
Rezim hari ini, juga telah dan akan terus melakukan upaya untuk membuka ruang diskusi, memberi opsi, lobi-lobi, berkompromi, mengajak mengikat kesepakatan, agar umat tunduk pada rezim dan berkompromi dengan kecurangan. Namun, jika yang mendapat amanah dari umat tetap teguh, kokoh untuk terus melawan, tidak mau dilobi, tidak mau berkompromi, tidak mau bersepakat kecuali rezim mengakui kekalahan, maka opsi unjuk kekuatan akan pula dilakukan oleh rezim.
Kekuatan rezim adalah alat dan perangkat negara yang diselewengkan sebagai alat kekuasaan untuk melindungi singgasana rezim. Alat negara yang seharusnya menjaga rakyat, berkhidmat kepada umat, akan dijadikan benteng kekuasaan rezim untuk berhadap-hadapan dengan umat.
Apakah ini akan berhasil ? Jika umat diam, bisa iya. Tetapi jika umat melawan, menggunakan 'kekuatan umat', melakukan gerakan people power untuk menyuarakan kezaliman dan kecurangan rezim, maka bisa dipastikan umatlah yang akan menang.
Alat negara juga paham, bahwa umat adalah tuan mereka Sesungguhnya. Mereka juga sadar, lahir dan dibesarkan dari rahim umat. Jika rezim memaksa, maka rezim akan berhadapan dengan kekuatan umat, dan alat negara akan mengumumkan berada disamping umat dan melepaskan kesetiaan kepada rezim.
Jadi jelas, sekor akhirnya adalah rezim yang terjungkal, umat yang menang.
Yang perlu diwaspadai adalah jebakan ajakan diskusi, opsi, lobi-lobi, berkompromi, dan upaya untuk mengikat kesepakatan, yang diupayakan rezim. Jika barisan umat atau tokohnya ada yang menjadi pengkhianat, mau tunduk berada di meja perundingan, maka kekalahan pangeran Diponegoro juga akan terjadi lagi saat ini. Karena itu, saling periksa dan selidiklah, atas upaya rezim menyusupkan pengkhianat di barisan umat. [].
Comments
Post a Comment