Apa Hebatnya Desak-Desakan Naik Kereta Rel Listrik (KRL)?

Jokowi, Pencitraan, Naik KRL
Tribun News -- Jokowi naik kereta dari Stasiun Tanjung Barat pada Rabu (6/3/2019). Jokowi naik KRL tanpa pengawalan ketat. Tapi tak berani dia, mengumbar ke wartawan 'hanya berdua ditemani sopir' saat naik KRL seperti celotehnya saat ke mengunjungi nelayan di Semarang.

Katanya, Jokowi naik KRL setelah menyalurkan hobi lamanya main kartu-kartuan, menyerahkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan sosialisasi Program Keluarga Harapan (PKH) di Jakarta Selatan. Lantas, Menuju Bogor, menggunakan kereta KRL.

Berita ini kemudian diviralkan dengan Framing beragam, ada yang rebutan foto, kaget, dan sejumlah berita yang bernuansa pencitraan ramai diproduksi. Padahal, naik KRL itu statusnya mubah, bukan Sunnah apalagi wajib. Jokowi tidak naik KRL juga tidak berdosa.

Namun, Jokowi justru melupakan kewajibannya. Menepati janji itu wajib, kewajiban ini justru diabaikan Jokowi. Sepanjang kampanye 2014, Jokowi telah membuat prasasti 66 Janji Kampanye. Namun, prasasti itu hingga saat ini berkarat, tidak ditepati, dikhianati.

Berkata jujur itu wajib, tapi justru Jokowi gemar berbohong. Sampai-sampai, umat ini bingung ketika menyimak perkataan Jokowi. Jokowi telah sampai pada epic balada penggembala kambing. Saking seringnya berdusta, akhirnya umat tidak lagi percaya apapun yang dijanjikan Jokowi.

Mau membebaskan Ust ABB ? Ternyata dusta. Mau membeli kembali (baca: buyback) Indosat, ternyata bohong. Mau produksi masal mobil esemka, bahkan berdusta sudah banyak pesanan. Mau naikan gaji perangkat desa, dusta.

Khianat itu haram, yang wajib itu bersikap amanah. Tapi Jokowi justru khianat bikin pertemuan rahasia dengan bos freeport, akhirnya Indonesia buntung. Keluar duit US$ 3,8 miliar bayar saham, Keluar duit US$ 1,5 miliar untuk iuran smelter, kehilangan Potensi duit US$ 1 miliar per tahun dari Deviden freeport, dan yang paling parah ikut menanggung kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan freeport yang nilainya mencapai 185 T.

Menghormati dan mentaati ulama itu wajib, mengkriminalisasi ulama itu haram. Tapi Jokowi justru gemar melakukannya kriminalisasi. Kasus HRS, Alfian Tanjung, Gus Nur, dan hingga kasus pembakaran bendera tauhid itu ada di era Jokowi. Di era Jokowi, ajaran Islam khilafah juga dikriminalisasi.

Melayani kebutuhan rakyat dan menunaikan haknya, itu wajib. Ini justru diabaikan. Hutang menggunung, BBM mahal, listrik naik, pengangguran meningkat, bahkan hingga omong kosong janji kasih tunjangan bagi pra kerja. Yang kerja saja menunggak ? Guru honorer ? Yang wajib dibayar saja Nunggak, BPJS ?

Jokowi tidak paham syariat, tidak paham mana yang wajib dan mana yang mubah. Jokowi hanya sibuk pencitraan.

Naik KRL itu mubah, tidak dosa jik tidak naik KRL. Justru, Jokowi dilengkapi oleh negara dengan berbagai fasilitas seperti kendaraan dinas, paspampres, dan seabrek fasilitas penunjang itu agar Jokowi bisa maksimal menjalankan kewajibannya mengemban amanat pemerintahan. Bukan malah naik kereta api, tut tut tut, eh KRL maksudnya.

Paspampres itu digaji bukan untuk sibuk mengawasi Jokowi naik KRL, ikut bagi sembako, mengawasi salam jari atau semisalnya. Jokowi diberi fasilitas dan kelengkapan sarana prasarana oleh negara itu untuk bekerja, bukan memoles citra.

Klo cuma naik KRL, puasa Sunnah, piara kodok, main game bersama cucu, makan cilok, bahkan aksi jumping pakai stuntman, itu warga kampung ujung berung juga bisa. Tidak harus Presiden.

Presiden itu misalnya, bikin listrik murah, BBM murah, kerjaan lapang, pengangguran menurun, wibawa dihadapan asing bukan mengembek, bicara lantang atas pembantaian China terhadap muslim Uighur, dst. Itu baru Presiden, bukan cuma berdiri manyun, pasang aksi senyum simpul bergelantungan di KRL lantas dibilang hebat.

Tapi Jokowi mulai ambigu, di satu sisi ia ingin dikesankan milenial. Tapi, dia juga ingin dikesankan sederhana.

Sebenarnya, Jokowi keliru jika jualan muka sederhana dan kegiatan kesederhanaan, jika dianggap akan meningkatkan elektabilitas. Umat Islam sudah paham modus blusukan Jokowi.

Sebenarnya, kalau mau naikan elektabilitas itu perbaiki ekonomi, tuntaskan pemberantasan korupsi, sikat mafia narkoba, penjarakan semua penista agama. Tapi saya bisa takarlah kemampuan Jokowi, tidak mungkin bisa melakukan semua itu. Paling banter, kebisaan Jokowi ya cuma pencitraan seperti naik kereta berdesakan yang dikabarkan media saat ini. [].

Comments